Dari dokumen tersebut diketahui salah satu penyebab reformasi sistem pensiun itu akan dilaksanakan adalah belum cukupnya manfaat yang diberikan program pensiun, terlihat dari rendahnya rasio nilai manfaat dibandingkan dengan penghasilan saat aktif bekerja atau istilah lainnya replacement ratio.
Pemerintah sendiri menilai, replacement ratio berada pada kisaran 9% untuk pegawai golongan IVe hingga 33% untuk pegawai golongan IIa. Rasio itu dianggap akan semakin kecil karena penghasilan PNS semakin didominasi oleh tunjangan kinerja sejak 2009, selain itu sebagai besar PNS memasuki masa pensiun di golongan IIIc dengan manfaat bulanan yang lebih rendah dibandingkan biaya hidup di seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian, seiring dengan penuaan populasi penduduk termasuk PNS, pemerintah memproyeksikan program pensiun akan meningkatkan beban fiskal ke depan.
Ini terdeteksi dari rata-rata pembayaran belanja pensiun PNS Pusat ataupun daerah dan purnawirawan TNI/Polri yang akan semakin membengkak.
Rata-ratanya sebesar 33 persen dari belanja pegawai dalam APBN, namun dalam lima tahun terakhir, tren belanja pensiun meningkat bahkan rasio belanja pensiun terhadap belanja pegawai menjadi hampir setara dengan rasio belanja pegawai aktif dan diperkirakan terus meningkat.
Tercatat, dalam tiga tahun terakhir, rasio antara pensiunan terhadap peserta aktif meningkat dari 0,71 pada 2020 menjadi 0,78 pada 2022. Dari 2,99 juta orang pensiunan di 2022, sekitar 65 persen merupakan pensiunan PNS daerah.
Dengan reformasi pensiun, pemerintah berharap replacement ratio akan meningkat menuju minimum 40 persen dari penghasilan terakhir sesuai yang direkomendasikan International Labour Organization (ILO). Diiringi dengan kesinambungan fiskal yang terjaga.
Pemerintah menegaskan reformasi pensiun yang akan diterapkan ini nantinya akan menggunakan skema yang berbeda antara pegawai lama dengan pegawai baru sambil tetap mempertimbangkan asas keadilan terkait manfaat pensiun.