Kerap Dilakukan Usai Hari Raya Idul Fitri, Inilah 3 Makna yang Terkandung dalam Istilah Halal Bihalal

- 17 April 2024, 18:30 WIB
Mengenal Tradisi Halal Bihalal pada Lebaran Idul Fitri
Mengenal Tradisi Halal Bihalal pada Lebaran Idul Fitri /elements.envato
PR GARUT - Usai merayakan hari raya Idul Fitri atau lebaran, ada tradisi yang selama ini sudah biasa dilakukan umat Islam di Tamah Air. Ya "Halal Bihalal."
 
Dalam prakteknya, Halal Bihalal ini merupakan acara kumpul bareng keluarga, kerabat, handai taulan  ataupun teman. Maksudnya, ya bersilaturahmi, atau semacam ramah-tamah.
 
Memang, penamaan Halal Bihalal ini sendiri sedikit ada unsur Bahasa Arabnya. Namun, uniknya penyebutan Halal Bihalal ini justru sama sekali tak terdapat dalam kamus Araba, baik kamus moderen maupun klasik.
 
Sehingga, dengan fakta tersebut, tradisi Halal Bihalal ini bisa dipastikan hanya ada di negeri Indonesia atau dikerjakan oleh umat Islam asal Indonesia.
 
 
Meski demikian, kata Halal Bihalal sendiri bisa disandarkan pada bahasa 
'halla-yahallu-hallan,' dengan makna terurai atau terlepas. 
 
Dengan terjemahan tersebut, Halal Bihahalal bisa diartikan sebagai sebuah media untuk mengembalikan hubungan persaudaraan yang mungkin telah tercerai-berai.
 
Nah, dengan saling memaafkan di momen Halal Bihalal inilah diharapkan hubungan persaudaraan itu kembali tertaut
 
Lantas, kenapa istilah Halal Bihalal itu seolah hanya berlaku setelah hari raya Idul Fitri? 
 
Menurut Niamilah (dalam Sobih, 2014), menyebut, hal itu karena memiliki hubungan kuat dengan makna lafal Idul Fitri, yakni kembalinya manusia pada kesucian.
 
Idul berarti suatu perayaan yang diulang-ulang, sementara fitri bermakna suci. Maka Idul Fitri bisa ditafsirkan sebagai perayaan kembalinya manusia kepada kesucian yang itu hanya bisa diraih dengan memperoleh ampunan dari Allah SWT, dan mendapatkan maaf dari sesama manusia. 
 
Disinilah korelasi antara "Hablu minallah wa Hablum minabass" menjadi keniscayaan yang tak bisa terpisahkan.
 
 
Sementara itu, mengenai makna istilah Halal Bihalal, Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an (1999), menjelaskan, sedikitnya ada 3 Makna yang terkandung dalam istilah Halal Bihalal, di antaranya:
 
Pertama, dari aspek hukum fikih. Halal yang kontradiktif dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks Halal Bihalal, maka bisa memberi pesan, bagi mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa. 
 
Jadi, Halal Bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. 
 
Hal tersebut baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, tentunya. 
 
Disamping itu, menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini kemudian muncul pertanyaan, “Apakah yang dimaksud dengan istilah Halal Bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh?
 
Dalam tinjauan hukum fikih. Secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Kemudian, dalam bahasa hukum fikih, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. 
 
Meskipun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, tapi dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala. 
 
Nah, atas dasar pertimbangan terakhir ini, Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah Halal Bihalal dengan pengertian atau tinjauan hukum. 
 
Sebabnya, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-sesama.
 
Kedua, ditinjau dari aspek bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya.
 
Makna-makna tersebut antara lain, bisa diartikan menyelesaikan masalah, kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau sejenisnya.
 
Jika memahami kata Halal Bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seseorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. 
 
Dimungkinkan, jika para pelaku menginginkan Halal Bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
 
Ketiga, jika ditinjau dari aspek Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. 
 
Dengan demikian, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. 
 
Inilah sebabnya, kenapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu, yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.
 
Dari semua penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan, bahwa Halal Bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar mampu menyambung hubungan yang putus, sehingga terwujud harmonisasi yang berkelanjutan. ***

Editor: Hanin Annisa Nuradni


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x