Raden Haji Moehamad Moesa, Penghulu Garut Penuh Kontroversi yang Jadi Pelopor Kesusastraan Sunda

1 Juni 2023, 15:06 WIB
Raden Haji Moehamad Moesa, Penghulu Garut Penuh Kontroversi yang Jadi Pelopor Kesusastraan Sunda /Foto delpher/

PR Garut - Garut merupakan salah satu wilayah di tataran sunda yang melahirkan banyak tokoh luar biasa, di antaranya adalah Raden Haji Moehamad Moesa.

Meski jadi tokoh ikonik di Kabupaten Garut dan memiliki jasa besar bagi kesusastraan sunda, Raden Haji Moehamad Moesa diselimuti kontroversi selama hidupnya.

Hal ini tidak lepas dari kedudukan sebagai kepala penghulu Garut saat itu, serta kedekatannya dengan para pejabat dan pengusaha kolonial.

Baca Juga: Wagub Jabar Secepatnya Eksekusi Tanah SMAN 2 Garut yang Digunakan Oknum Warga: Sertifikat Sudah Ada

Sejak lahir Raden Haji Moehamad Moesa sudah dikelilingi kekuasaan, sebab ia merupakan keturunan kaum menak. ayahnya Raden Rangga Soerjadikoesoemah adalah seorang patih di Kabupaten Limbangan atau Garut saat ini.

Kehidupan kaum menak sendiri tidak bisa dilepaskan dari kesenian, salah satu cabang seni yang paling akrab dengan kaum menak menurut Nina Lubis dalam buku Kehidupan

Kaum Menak Priangan (1800-1942) adalah sastra. Tidak mengherankan apabila Moehamad Moesa cukup aktif di dunia kesastraan.

Baca Juga: Eks Pemain La Liga Sapa Bobotoh Persib Bandung, Ini yang Disampaikan

Tak ayal Moehamad Moesa disebut sebagai seorang sastrawan disamping jabatannya sebagai seorang Penghulu Garut.

Bahkan sejarawan asal Jepang, Mikihiro Moriyama dalam buku Semangat Baru, menyebutnya sebagai politikus dan agamawan karena jabatannya itu.

Penghulu pada abad 19 merupakan jabatan yang strategi bagi bumi putera, yang kedudukannya setingkat dengan Bupati, Patih, Jaksa, dan Wedana.

Bayangkan saja Moesa yang menjabat sebagai kepala Penghulu Garut dari 1864 hingga akhir hanyatnya pada 1886, mendapat gaji sebesar 900 gulden per tahun, ditambah uang kompensasi sebesar 720 gulden sebagai tobang pelayanan buruh. Suatu jumlah yang cukup besar apabila dibandingkan dengan gaji seorang bupati yang hanya 1200 gulden.

Dalam jurnal berjudul Antara Hitam dan Putih: Penghulu Pada Masa Kolonial karya Amelia Fauzia. Pengukuhan terhadap peran dan fungsi penghulu mulai diakui ketika masa jabatan Gubernur Jendral Willem Daendels.

Di mana keilmuan dan otoritas penghulu diakui secara resmi dalam pengadilan Islam, serta dipercayanya mereka untuk menjadi penasihat pengadilan pribumi, dan pada tahun 1830 pengadilan Islam yang dipimpin oleh penghulu dijadikan bagian dari pengadilan negeri.
Sehingga jabatan Penghulu saat itu erat kaitannya dengan birokrasi kolonial, seperti Moehamad Moesa yang berkawan dengan pengusaha perkebunan teh, K.F. Holle.

Nina mencoba menggambarkan kedekatan diantara kedua orang ini dan mengenalkan siapa K.F. Holle.

Menurut nya, Holle adalah sosok yang cukup bisa menarik simpati masyarakat pribumi, kedekatan ini membuat ia memiliki nama panggilan baru yaitu “Tuan Hola”, bahkan oleh kalangan umat muslim ia diberi nama “Said Muhammad Ben Holle” karena perhatiannya terhadap agama Islam.

Contohnya ketiak ia meresmikan Perkebunan Teh Arjasari, dilakukan pembacaan doa menurut agama Islam sebelum memakan hidangan yang disediakan. Selain itu ia juga tidak memakan babi dan meminum minuman keras yang diharamkan oleh Islam.

Kedekatan kedua orang ini dapat diindikasi dari perhatian Holle terhadap kebudayaan sunda, terutama dalam unsur bahasa, yang membuatnya berkawan dengan Moesa.

Namun pertemanan mereka tidak hanya bersifat formal semata, melainkan terjalin dengan rasa kekerabatan. Ini terlihat dengan pernahnya Holle menginap di kediaman Moesa selama tiga hari, dan bergaul akrab dengan anak serta istri kepala Penghulu Garut ini. Hal yang tidak biasa dalam kehidupan sosial saat itu.

Bagi Mikihiro, hubungan ini juga memberi keuntungan bagi diri mereka masing-masing, seperti Holle yang mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan sunda, sehingga di percayanya ia menjadi penasihat pemerintahan untuk urusan bumiputera.

Sedangkan Moesa memperoleh jaringan yang luas, tak terkecuali di kalangan orang Eropa. Ia mengenal baik beberapa pejabat tinggi pemerintah, sehingga membuat kekuasaannya semakin kuat, bahkan anak-anak nya memperoleh jabatan. Sehingga menimbulkan pertanyaan baru mengenai hubungan pertemanan di antara mereka.

Nina menambahkan, meski hubungan keduanya terlihat begitu akrab, terdapat kepentingan terselubung di antara Moesa dan Holle.

Sebagaimana disampaikan dalam bukunya, Holle pernah berbicara kepada Rudolf Kerkhoven ketika baru datang ke Priangan.

"Penguasa pribumi harus diraih dengan hati-hati karena mereka amat sensitif. Jangan kasar hargailah adat-istiadat mereka, dan pelajari bahasa mereka."

"Dengan menguasai bahasanya, orang Belanda bisa akrab dengan rakyat dan rakyat dengan cepat bisa dikuasai. Jika mereka telah menganggap kita sebagai atasan, mereka dengan senang hati mematuhi perintah." ucap Holle.

Menunjukan kepentingannya sebagai seorang penjajah, yang juga nampak dari diri Moesa ketika peristiwa Cianjur tahun 1885, dimana aktivitas muslim Naqsyabandiyyah membuat khawatir pemerintah kolonial.

Dalam peristiwa tersebut Moesa berharap bisa mengambil kesempatan dari peristiwa yang melibatkan pemimpin setempat seperti Bupati Cianjur, Hoofd Panghoeloe Cianjur, Hoofd Panghoeloe Sukabumi dan Patih Sukabumi.

Seperti anak bungsunya, Djenal Asikin yang menjabat sebagai naib  di Wanaraja, diharapkan bisa menggantikan Hoofd Panghoeloe Cianjur dan anak pertamanya, Soeria Nata

Ningrat yang sedang menjabat Bupati Lebak dialihkan ke Cianjur. Menunjukan sikap ambisius Moesa.

Walaupun begitu, melalui kedua orang inilah bahasa Sunda menjadi etnisitas tersendiri, setelah sebelumnya atau tepatnya saat kerajaan Mataram dapat menguasai wilayah

priangan pada abad 17, kebudayaan Jawa dapat menggeser kebudayaan Sunda, tak terkecuali dalam hal bahasa.

Bahkan para bangsawan lokal menganggap bahasa Sunda sebagai bahasa yang tidak bergengsi dan kebanyakan hanya digunakan oleh orang-orang pedalaman di daerah pegunungan.

Tidak heran apabila orang-orang Eropa menganggap bahasa Sunda sebagai varian dan dialek bahasa Jawa dan menyebut nya sebagai bahasa Jawa Gunung.

Holle mendorong para bangsawan yang melek huruf agar menulis cerita dalam bahasa Sunda dan Moesa menjadi penulis paling produktif dengan karya paling terkenal berjudul Wawacan Panji Wulung.

Namun tidak hanya produktif dalam menulis, kualitas karya Moesa juga diakui oleh orang Belanda.

Tulisan tersebut kemudian diedit oleh Holle untuk dijadikan buku-buku sekolah terbitan kantor percetakan pemerintah, Landsdrukkerij, yang mana nantinya kedudukan bahasa Sunda menjadi setara dengan Jawa.

Moesa pun jadi orang lokal pertama yang karyanya dicetak serta menulis prosa Sunda pertama pada zamannya. Tak ayal ia disebut sebagai sang pelopor.***

 

Editor: Muhammad Nur

Tags

Terkini

Terpopuler